Politik Pasar Abimanyu

demokrasi-tahu-tempePak Hassan sudah 50 tahun dan masih mengayuh becak. Tubuhnya kekar, kulitnya coklat gelap dan keringat yang mengucur membuat warna kulitnya jadi mengkilat. Ia selalu mengenakan caping bambu yang diberi lapisan anti bocor dan dicat putih mengkilat dengan cat kayu. Sebuah handuk kecil selalu menggantung di sekeliling lehernya dan bila hari sedang terik, ia menggunakan kacamata hitam model Rayban, palsu tapi cukup nyaman dipakai. Ia berpenampilan rapi untuk ukuran tukang becak. Kaos oblong putih yang menolak panas matahari selalu dimasukkan ke dalam celana pendeknya dan ia memakai sabuk dari kulit yang sudah berusia lebih dari 10 tahun. Ia selalu membawa baju ganti, sarung dan handuk bersih dalam tas kanvas yang ditaruh di lemari di bawah jok penumpang, bersatu dengan jas hujan model ponco warna hijau tentara dan tiga botol air putih. Celana pendeknya tidak pernah ada yang robek karena selalu dijahit oleh istrinya. Ia tidak memakai sandal tetapi sepatu Warrior pendek yang sudah tua tapi bersih dan tidak pernah licin saat hujan. Bila dilihat sepintas ia memang tidak jauh berbeda dengan tukang becak lain di Pasar Abimanyu tapi orang akan menyadari sesudah duduk di kursi bahwa becak itu amat terawat. Joknya empuk dan sudut sandarannya pas untuk merebahkan punggung yang letih sesudah berbelanja. Catnya selalu segar dan baru, tidak pernah ada bagian cat yang mengelupas sehingga bagian besinya digigit karat. Roda-roda giginya selalu diminyaki sehingga berputar dengan lancar, rem becaknya pakem tapi halus dan tidak pernah berbunyi saat diinjak. Pelek dan jari-jari rodanya selalu mengkilat, bebas lumpur dan debu karena selalu dibersihkan dan digosok sampai mengkilat. Lembaran plastik untuk pelindung hujannya terbuat dari bahan plastik tebal yang mahal, diikat dengan tali dari kulit sapi asli. Jok tempat Pak Hassan duduk mengemudi dipesan di pengrajin jok sepeda motor. Busanya tebal dibalut bahan kulit imitasi warna coklat muda yang diregang dengan kencang dan rapi, bukan jenis jok kempes yang kulitnya sudah pecah lalu dibungkus kantong plastik dan diikat-ikat di sana-sini seperti milik tukang becak lain. Di bagian penutup roda kiri-kanan ada lukisan yang dibuat dengan cat kayu oleh Hartono, pelukis becak dan truk terkenal di luar kota. Semua becaknya dilukis oleh Hartono sendiri, pemandangan lanskap mooi indie yang menggambarkan orang-orang desa sedang panen raya, untuk keberuntungan, katanya. Kain kanvas yang menutup becaknya tidak pernah ada yang retak apalagi pecah. Orang mungkin mengira Pak Hassan mengeluarkan biaya besar untuk membuat semua becaknya berada dalam kondisi prima tapi sebetulnya tidak juga. Pak Hassan hanya menghabiskan setidaknya satu-dua jam setiap malam untuk merawat semua becaknya dengan teliti. Dengan begitu orang bisa melihat bahwa Pak Hassan bukan tukang becak sembarangan, ia bukan jenis orang yang kena krisis kepercayaan diri. Sebagai tukang becak ia justru punya kebanggaan tertentu dengan profesinya.

“Ini pekerjaan halal dan memuaskan karena aku memberi makan anak-istri dengan hasil jerih payahku sendiri. In shaa Allah, semua yang mereka makan dan mereka pakai halal dan bersih.”
Karena daerah kerjanya strategis, becak Pak Hassan hampir tidak pernah sepi penumpang. Di bulan Ramadhan muatan justru berlimpah. Pasar hanya sepi saat Lebaran karena tutup dan sebagai pengayuh becak senior di daerah pasar, ia sudah punya banyak pelanggan.

“Pak Hassan itu baik hati dan mengayuh becaknya cekatan sekali, jadi cepat sampai.”
“Ia tidak pernah minta dibayar berapa, seikhlasnya saja.”
“Barang bawaan yang segunung selalu dibantu naik dan turun oleh Pak Hassan sampai ke dalam rumah.”

Pak Hassan bukan jenis tukang becak yang hidupnya susah. Becaknya milik sendiri, ia beli dengan mencicil, dan ia masih punya tiga buah becak lain yang ia beli dengan menabung sedikit demi sedikit. Becak-becak itu ia sewakan pada orang-orang yang menurutnya telaten dan hati-hati, orangnya itu-itu saja dan tidak ada yang berusia muda. Uang sewanya disetor setiap sore sesudah jam kerja selesai dan semua becak dicuci bersih oleh penyewa dan disimpan di “garasi” di pekarangan belakang rumah Pak Hassan. Bila penyewanya sakit atau berhalangan, becak-becak itu lebih baik diparkir di rumah daripada disewakan pada sembarangan orang. Ia memberi kesempatan pada para penyewa untuk mencicil becaknya sendiri dan sejauh ini sudah ada dua orang yang berhasil. Uang cicilan itu ia tambahi sedikit lalu dibelikan becak yang baru dan disewakan pada orang lain yang menurutnya memenuhi syarat. Istrinya menjual makanan sarapan di pasar, berjualan dari jam 7 pagi, semua biasanya ludes pada jam 10. Untuk menghidupi dirinya sendiri dan istrinya, dengan gaya hidup yang sederhana, apa yang dihasilkan Pak Hassan dan istrinya sudah lebih dari cukup. Sisanya selalu ditabung dan hidup mereka berkecukupan, tidak seperti kebanyakan tukang becak yang tidak becus mengatur keuangan.

Anak mereka cuma satu, laki-laki, itupun sudah menikah. Ia hidup mandiri dengan istri dan dua orang anak, tinggal di kota lain dengan menjadi pegawai negeri berkat jasa saudara sepupu Pak Hassan. Dengan begitu sudah 10 tahun terakhir ini praktis mereka hanya tinggal berdua. Rumah mereka kecil tapi bersih, sebuah paviliun dengan pagar dan halaman yang bersatu dengan rumah utama tetapi berbeda atap. Halamannya rindang dipayungi pohon mangga dan banyak tanaman hijau yang dirawat dengan baik, lokasinya tidak jauh dari pasar. Rumah paviliun itu jadi milik mereka sendiri setelah mencicil selama 13 tahun pada pemilik rumah utama, Ibu Dariah, seorang janda tua yang tinggal sendirian karena anak-anaknya sudah besar dan tinggal di kota lain. Janda itu adalah penumpang kehormatan, Pak Hassan selalu siap mengantarnya kemana saja dan tidak pernah mau dibayar. Tiga orang yang sudah sama-sama tua dan tanpa anak itu akhirnya jadi seperti keluarga. Mereka makan bersama, kadang di rumah utama, kadang di paviliun. Mereka bisa mengobrol apa saja, selalu ada saja yang bisa diobrolkan. Mengobrol itu saling menemani. Dengan begitu, hidup Pak Hassan dan istrinya relatif tenang tanpa drama, guncangan emosional maupun tantangan ekonomi yang berarti dan itu semua amat ia syukuri. Walaupun demikian Pak Hassan dan istrinya punya sebuah kegelisahan tertentu yang sudah mengganggu dirinya dan banyak orang pasar selama beberapa bulan terakhir.

“Dari dulu di pasar selalu ada preman. Merekalah yang mengamankan pasar dari pengamen dan pemulung liar, pencuri atau tukang copet yang pura-pura jadi pengemis.” ia menjelaskan pada Ibu Dariah sambil makan malam bertiga. “Kami semua setor uang keamanan dan selama ini tidak ada masalah karena kami juga terbantu. Pasar jadi aman dan nyaman baik bagi penjual maupun pembeli. Tapi sesudah Haji Sodikin wafat, anak-anak buahnya berebut pengaruh dan sekarang para preman baru merajalela. Kami jadi sering ditagih dua kali dan sudah berkali-kali mereka berkelahi di pasar.”
“Lha terus polisi pada kemana?”
“Ya, mereka bertugas di tempat lain. Pasar bukan benar-benar urusan polisi kecuali kalau ada masalah gawat.” Ibu Hassan mengambilkan nasi untuk suaminya. “Kami juga tak pernah berhubungan dengan polisi karena dari dulu semua diurus oleh Pak Haji. Pasar selalu aman dan tertib di bawah pengawasannya dan polisi tidak pernah harus banyak turut campur.”
“Sekarang ini ada dua orang yang sedang berebut pengaruh. Pertama adalah Ibrahim, anak angkat Pak Haji. Orangnya keras dan temperamental. Anak buahnya keras semua. Lalu ada Wakijan, kapten Pak Haji dulu. Wakijan orangnya tenang seperti Pak Haji, dia lebih kharismatik daripada Ibrahim tapi pendukungnya sekarang makin sedikit karena Ibrahim menjanjikan uang lebih banyak.”
“Kamu dukung yang mana?” tanya Ibu Dariah.
“Ya jelas Wakijan, dong. Wakijan itu baik, lho. Dia punya jiwa pemimpin.”
“Ibrahim itu benar-benar penindas. Dia ingin terpandang dilihat orang-orang atas karena itu ia memeras kami semua.”
“Lalu bagaimana?”
“Entahlah. Orang pasar akan mengadakan rapat besok.”

Keesokan harinya rapat diadakan di rumah salah seorang warga pasar. Semua orang mengeluhkan hal yang sama dan akhirnya mereka sepakat untuk mendukung Wakijan. Tiga orang perwakilan datang ke rumah Wakijan lalu bicara di teras rumah yang terang dan sejuk di malam hari.
“Kami ingin ikut Pak Wakijan saja tapi kami minta dilindungi.”
Wakijan tersenyum bijaksana.
“Terima kasih untuk kepercayaan kalian tapi keadaan sekarang sudah berbeda. Ibrahim lebih disukai baik oleh anak buah maupun orang atas karena uangnya lebih besar. Anak-anak entah sudah berapa orang yang pindah dan ketika aku tanya alasannya, mereka semua bilang butuh uang. Aku bisa ngomong apa?”
“Mereka minta setoran tiga kali lipat lebih besar dibandingkan zaman Pak Haji dulu, itu pun dengan memaksa. Kalau kami tidak bayar, barang dagangan kami diacak-acak. Pasar jadi tegang, suasana di pasar jadi tidak nyaman. Kami ini yang sengsara, Pak Wakijan.”
“Kalau Pak Wakijan tampil, akan kami dukung. Kami rela membayar dua kali lipat asal pasar aman dan nyaman seperti dulu.”
Wakijan merenung agak lama lalu manggut-manggut.
“Yah, aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku harus bicara dulu dengan sejawatku, nanti kalian kukabari. Sekarang kalian sebaiknya pulang saja supaya besok tidak mengantuk di pasar.”
Mereka pun saling bersalaman lalu pamit dan meninggalkan teras rumah. Wakijan berdiri mematung memandangi mereka sampai semuanya menghilang di balik perumahan, sesudah itu ia masuk rumah dan menutup pintu. Sebuah sepeda motor dinyalakan di kegelapan lalu bergerak perlahan-lahan tanpa menimbulkan kecurigaan menuju rumah Ibrahim.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s