Wakijan baru tiba di rumah dengan sepeda motornya dan ia heran, beberapa anak buahnya sudah berkumpul di teras. Anak buahnya sudah hendak angkat bicara tapi ia meminta mereka menunggu. Ia masuk ke dalam rumah menemui istri dan anak-anaknya. Mereka baik-baik saja. Istrinya tampak khawatir.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Tenanglah.”
“Mau kubuatkan teh? Anak-anak sudah kuberi sepoci.”
“Ya. Beritahu anak-anak supaya menunggu.”
Wakijan mandi dengan air dingin cepat-cepat. Keletihannya memudar karena rasa segar. Ia sudah berpakaian bersih lalu duduk di teras. Anak buahnya berkumpul, ada Adam dan Sahari di sana.
“Kang, Gunawan kena.”
Mereka menceritakan kejadian di rumah Ibrahim beberapa jam sebelumnya. Walau kelihatan tenang, anak buahnya tahu Wakijan marah sekali. Wakijan menyadari bahwa Ibrahim telah dengan sengaja memantik api peperangan. Semenjak Haji Sodikin sakit keras, ia sudah menyadari bahwa cepat atau lambat, situasi akan mendorongnya pada titik ini, sebuah titik yang dramatis di mana ia harus memilih.
“Begini sekarang. Kalian harus memindahkan anak dan istri kalian pergi dari rumah, malam ini juga. Semua, beritahu yang lain. Anak istriku akan kuungsikan ke rumah mertuaku besok pagi. Malam ini kita harus berjaga-jaga.”
Ia memilih beberapa anak buahnya yang masih bujangan untuk menjaga rumahnya. Ia lalu berkata pada Adam dan Sahari.
“Seharusnya kalian menurut saja, ikut dengan Ibrahim.”
“Mana bisa, Kang?” protes Adam dan Sahari. Wakijan tersenyum.
“Kalian dilepaskan oleh Ibrahim dan dia tahu kalian pasti bicara padaku. Ibrahim tidak menutup-nutupi perbuatannya, artinya dia sudah siap sementara kita belum. Aku masih perlu waktu beberapa hari. Sekarang anak dan istri Gunawan harus dijemput, mereka akan tidur di rumahku malam ini dan besok pagi berangkat bersama anak istriku. Jemputlah tapi jangan sampai mereka tahu nasib Gunawan. Tidak sekarang. Biar istriku nanti yang memberitahu.”
Adam dan Sahari langsung berangkat naik sepeda motor. Sisanya berjaga di rumah, satu orang di depan, dua orang di pekarangan belakang. Wakijan masuk ke dalam rumah dan mengajak istrinya bicara.
“Gunawan sudah tidak ada.” katanya lembut. Istrinya terkesiap menutup mulutnya.
“Akhirnya terjadi juga, Kang?”
“Ya, sekarang saatnya. Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan?”
“Ya.”
“Bagus. Anak istri Gunawan sedang dijemput dan akan menginap di sini malam ini. Sediakan tempat dan makanan untuk mereka. Besok subuh kalian kuantar berangkat ke terminal. Dalam perjalanan nanti baru kau boleh memberitahu nasib Gunawan.”
Istrinya mengangguk lalu masuk ke kamar dan mulai berkemas. Istri Wakijan sudah kenal betul siapa suaminya, siapa Haji Sodikin dan semua yang lain. Ia paham orang seperti apa mereka. Sejak ia mulai dekat dengan Wakijan dulu, ia sudah terpikat pada kejantanan suaminya dan ketika akhirnya ia memahami bahwa suaminya hidup di dunia mengambang penuh kekerasan, ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Ia tahu kapan harus diam dan kapan harus bertindak, ia tahu bahwa pada saat-saat tertentu nasib mereka bagaikan telur di ujung tanduk. Malam ini adalah saat seperti itu. Dua jam kemudian, hampir tengah malam, istri Gunawan tiba dengan tenang bersama kedua anaknya yang masih kecil. Anak-anak itu segera tidur dan istri Gunawan tidak bertanya sedikitpun. Ekspresinya tenang walaupun matanya tidak pernah terpaku di satu tempat. Saat tengah malam tiba, rumah Wakijan sudah sepi. Anak buahnya membuat kopi di dapur.
“Buat empat gelas. Aku tidak akan tidur malam ini.”
“Baik, Kang.”
Wakijan mengamati anak buahnya baik-baik. Ia terlihat gugup saat membuat kopi. Ia mengisi ceret dengan tidak sabar dan menuangkan kopi dengan terburu-buru. Wakijan bangkit dari kursi dan menyentuh tangannya.
“Kunto, tenanglah.” Wakijan mengambil alih pekerjaannya. Kunto menundukkan kepalanya dan terlihat berusaha menguasai emosinya.
“Apa yang kau takutkan?” Wakijan bertanya tanpa menoleh. Ia sudah menyalakan api kompor dan menuangkan kopi dengan sendok kecil di empat gelas belimbing beralaskan pisin enamel berwarna krem dengan garis hijau di pinggirannya.
“Semuanya, Kang.” Kunto menjawab dengan gundah. Sambil menunggu air mendidih, Wakijan duduk di kursi dapur. Ia menyuruh Kunto duduk di seberang meja.
“Kita ini bukan siapa-siapa, Kunto. Kita bukan orang kaya, bukan orang terkenal, bukan orang berpendidikan. Kita semua bukan orang sekolahan, tidak punya ijazah. Yang kita punya cuma ini.”
Wakijan mengepalkan tangan dan mengencangkan ototnya.
“Kita cuma punya otot dan nyali. Kita ini prajurit. Tapi sama seperti orang-orang lain, kita juga ingin bahagia. Kita ingin anak istri kita bisa makan cukup dan sehat. Dan kita semua ingin anak-anak kita bisa sekolah yang tinggi supaya tidak perlu hidup seperti kita. Supaya itu terjadi ya kita harus siap menghadapi saat-saat seperti ini. Dunia kita memang begini. Tenanglah, tidak perlu takut, ini biasa.”
“Ini biasa..” Kunto setengah melamun mengikuti kata-kata Wakijan.
“Dengarkan aku. Haji Sodikin almarhum sudah seperti ayah kedua bagiku. Aku hormat pada Beliau tapi anak angkatnya telah merusak hasil kerjanya bertahun-tahun. Kau tahu, dulu waktu Pak Haji baru tiba di daerah ini, preman dan pencuri merajalela. Para pedagang menderita karena diperas habis-habisan. Dulu di pasar tidak ada aturan, yang ada hukum rimba. Para pedagang datang dan pergi silih berganti, tidak ada yang kuat berjualan di sana karena pajaknya luar biasa. Para pembeli pun tidak suka datang ke sana karena pasar penuh tukang copet dan jambret. Pak Haji membuat los daging dan merasakan sendiri penderitaan para pedagang. Ia mengamati keadaan dan membiarkan dirinya diperas karena ingin tahu siapa orang-orang penting yang ada dalam lingkaran preman di pasar dan selama itu diam-diam menggalang kekuatan. Akhirnya para pentolan preman berhasil dibasmi dan pasar jadi aman. Setiap ada preman baru yang muncul, Pak Haji akan bertindak sehingga akhirnya pasar menjadi tertib, aman dan nyaman bagi semua orang. Karena itulah Pak Haji dihormati. Sekarang Ibrahim membuat pasar jadi tidak tenang, persis seperti dulu saat Pak Haji belum hadir. Karena itu, adalah tanggung jawab kita untuk meneruskan pekerjaan Pak Haji. Tujuan kita baik dan mulia. Karena itu kita tidak perlu takut.”
Air mendidih membuat ceret bersiul nyaring. Kunto bangkit lalu mematikan kompor. Ia menuangkan air menyeduh semua kopi dalam empat gelas belimbing. Pegangannya mantap dan kelihatannya ia sudah tidak gugup lagi. Wakijan memerhatikan dalam diam. Kunto membagikan kopi ke teras dan pekarangan belakang. Wakijan bangkit dari dapur lalu membawa sebaskom air dan mulai mengasah parangnya. Malam itu sepi di perumahan namun jauh berkilo-kilometer di empat penjuru angin, murid-murid Haji Wastar menyebar untuk menyampaikan pesan pada kawan-kawan seperguruan Wakijan. Beberapa yang sudah menerima pesan langsung berangkat malam itu juga, mendekat ke daerah Pasar Abimanyu. Haji Wastar sendiri sudah bertengger di atas langit-langit rumah Wakijan sedari tadi, tanpa mengeluarkan suara dan mendengarkan semua percakapan. Tidak ada seorang pun yang melihat kapan dia datang dan menyusup ke sana kecuali Wakijan.