Meniru Sang Jenius

Baru-baru ini Museum Rembrandthuis, bekerja sama dengan ING Bank dan Microsoft di Belanda menghasilkan sebuah “karya baru” dari pelukis legendaris Rembrandt van Rijn, dengan menggunakan printer trimatra. Dengan algoritma yang sangat rumit yang dikerjakan para pemrogram Microsoft, proses pembuatan lukisan ini sendiri nyaris bebas dari sentuhan tangan manusia. Akhirnya lahirlah sebuah karya yang “sama sekali baru”, lengkap dengan figur, warna kulit sekaligus latar belakang gelap khas gaya Barok dan barik sapuan kuas juga pisau palet khas Rembrandt.

pkpzrtt9isl2iuyz4ffs

Jonathan Jones, jurnalis seni rupa di The Guardian, seketika menghujat karya dan ikhtiar ini habis-habisan. Ia menganggap lukisan itu palsu yang tidak ada harganya, dibuat oleh orang-orang tolol dan merupakan sebuah cara baru untuk melecehkan seni. “Anda tidak akan mampu, saya ulangi: tidak akan mampu, meniru kejeniusan Rembrandt van Rijn.” Jones menulis di kolomnya. Jones adalah jurnalis yang sama yang menyerang usaha dan dokumentasi Tim Jenison dan timnya saat berusaha menyadur karya Johannes Vermeer dengan bantuan teknologi lensa di Amerika. Proyek ini dijadikan sebuah film dokumenter “Tim’s Vermeer”, Jones menyerang mereka di kolom yang sama.

Bila Anda sudah menonton film “Tim’s Vermeer”, Anda bisa menyaksikan sendiri jerih payah Jenison dalam membuat salinan karya Vermeer “The Music Lesson”. Jenison bahkan membuat replika ruangan sampai ke rinci, memerhitungkan arah jatuhnya cahaya, lengkap dengan model dengan pakaian yang sama dengan suasana pada lukisan aslinya. Ratusan jam berlalu dan dia jelas-jelas memperlihatkan rasa letih dan keputusasaannya saat bekerja. Barangkali kurang menarik bagi kita untuk melihat bagaimana para pemrogram Microsoft bekerja saat membuat algoritma yang rumit untuk bisa menghasilkan karya Rembrandt, tapi intinya tetap sama, ikhtiar ini bukan jalan yang mudah. Tapi toh, Jones tetap menganggap semua usaha ini sia-sia bahkan tidak perlu. Benarkah demikian?

Dalam tradisi seni lukis klasik Eropa, adalah lazim bagi seorang pelukis muda untuk meniru karya-karya penting dalam sejarah seni rupa barat dengan cara menyadurnya sepersis mungkin untuk memahami tekniknya. Sampai hari ini, bila sedang tidak banyak tamu, museum-museum tertentu di Eropa dengan baik hati menyediakan waktu dan tempat bagi siapa saja yang berminat untuk membuat saduran karya tertentu, langsung di depan karyanya. Fungsi praktik ini adalah untuk melestarikan tradisi belajar di sanggar seni lukis klasik Eropa, memberi kesempatan bagi para pelukis muda untuk mempelajari bagaimana sang Jenius bekerja dengan mata kepala sendiri, langsung di depan karyanya. Dengan melihat lukisan secara langsung, apalagi dalam konteks teknik seni lukis klasik Eropa, sang Perupa muda akan mampu mengobservasi secara rinci banyak hal misalnya lapisan warna mana yang ada di bagian bawah dan mana yang di atas. Hal ini tidak bisa dilakukan bila kita hanya melihat foto karya dari buku atau poster. Maka walaupun penting, hal ini hanya mencakup masalah teknik saja dan seperti yang kita sama-sama pahami, teknik hanya satu aspek saja dari seluruh wilayah penciptaan yang luas.

Faktanya, apa yang dilakukan Rembrandthuis dan Tim Jenison adalah melihat ke masa lalu dan berusaha membuat karya baru dengan rujukan yang sudah tersedia. Walaupun masa lalu juga penting, masalah terbesar dalam medan penciptaan seorang seniman sejatinya selalu ada di masa kini dan masa depan. Bila Rembrandthuis dan timnya, entah bagaimana, bisa membuat sebuah algoritma yang mampu menciptakan sebuah karya yang sama sekali baru⎯artinya usaha itu harus dibayangkan lengkap dengan “menciptakan” kepribadian seorang perupa yang sebenarnya fiktif, caranya memandang kehidupan, pekertinya, etos kerjanya, wawasannya akan sejarah, kemampuan teknisnya termasuk juga prinsip estetik, visi artistik berikut ide brilyannya, termasuk juga kegigihannya dalam berkarya sampai “mati” alih-alih segala kegagalan yang dialaminya⎯barulah kita bisa mengakui bahwa mereka hebat.

Masalahnya, bila hal itu benar-benar mampu mereka lakukan, artinya mereka telah menciptakan seorang seniman sungguhan dan persis itulah perjuangan semua perupa di dunia ini sejak zaman Rembrandt, Vermeer, Van Gogh, Rothko, Raden Saleh, Sudjojono, Freud, Xiaodong, Agus Suwage, Ay Tjoe Christine dan seterusnya. Para perupa selalu berjalan di tengah medan penciptaan yang dipenuhi ketidakpastian dengan harapan menemukan sesuatu yang bermakna. Ini tidak bisa digantikan oleh algoritma komputer, kamera lucida dan semua joie de vivre apapun juga. Itu adalah perjuangan para perupa sejak zaman dahulu sampai sekarang dan itu semua, seperti kata Jones, tidak tergantikan. Jadi, prinsipnya, saya setuju dengan Jones.

Masalah teknik hanya satu aspek kecil saja dari penciptaan. Perjuangan seorang seniman di dalam medan penciptaan melingkupi aspek yang jauh lebih luas lagi. Saya pikir apa yang dilakukan oleh Jenison dan Rembrandthuis sebenarnya bagus-bagus saja, bisa jadi salah satu cara untuk menunjukkan bagaimana cara seorang pelukis berpikir dan bekerja, untuk promosi museum atau untuk memperkaya dunia seni rupa, kalau tidak mau dibilang untuk lucu-lucuan aja. Kalau Jenison merasa sangat letih mengerjakan proyeknya yang memakan waktu sangat lama, saya yakin Vermeer tidak seperti itu. Tidak mungkin Vermeer mampu melahirkan karya sedahsyat itu kalau dia tidak mengalami flow, Jenison jelas tidak mengalami flow, dia memaksakan diri untuk bekerja sampai proyeknya selesai. Dan satu lagi, Jenison bekerja di studio yang tenang sementara Vermeer bekerja di rumah sempit yang diisi belasan orang dari mulai mertua, istri, anak-anak yang selalu ribut dan para pelayan.

Dan ada satu lagi, bila Anda melihat film YouTube di atas dan memerhatikan “karya Rembrandt” yang dihasilkan oleh printer trimatra, lihatlah mata sebelah kiri sang Model. Mata itu terlalu halus untuk Rembrandt, sapuan kuas pada mata itu lebih terlihat fotografis, seperti sapuan kuas William Bouguereau, bukan seperti Rembrandt. Sapuan kuas dan barik dalam karya-karya Rembrandt sudah kasar sejak dia masih magang di usia muda dan tambah tua sapuannya tambah kasar. Sekilas memang kelihatan halus tapi bila diperhatikan dari dekat, sapuan kuas Rembrandt sebenarnya selalu kasar. Jangankan Rembrandt, sapuan kuas Vermeer juga kasar, kok. Siapa bilang sapuan kuas Vermeer halus? Silakan klik foto di bawah ini untuk melihat citra dalam ukuran sebenarnya (4226 x 4762 pixel, ukuran file 3,9 Mb).

SK-A-2344

Jadi sayang juga, jerih payah yang luar biasa itu pada akhirnya hanya menghasilkan karya KW dan itulah yang selalu terjadi pada semua perupa yang berusaha meniru karya tertentu alih-alih menemukan suaranya sendiri di tengah tradisi dan sejarah panjang seni lukis dunia. Saya pikir benar yang dikatakan teman saya, kalau mau melihat semua usaha ini secara positif, apa yang dilakukan Rembrandthuis dan Tim Jenison akan mampu membuat kita semakin menghargai jerih payah sang Jenius itu sendiri.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s