Saya sedang senang mengumpulkan foto-foto digital karya-karya para maestro dalam resolusi tinggi. Lumayan, lah, sambil menunggu kesempatan melihat karya aslinya. Kalau resolusi foto karyanya benar-benar tinggi, kita hampir bisa melihat runutan lapisan warna karena dalam metoda seni lukis klasik Eropa teknik lapis-melapis amatlah penting, ada warna-warna tertentu yang harus diulaskan lebih dulu sebelum yang lain. Nah, ini adalah sebuah karya yang menarik dari Eugène Delacroix, salah satu pelopor gerakan Romantisisme di Eropa dan kawan dekat Theodore Gericault sendiri.
Bila kita melihat karya “Gadis Yatim Piatu di Pemakaman” (c. 1823, foto di bagian akhir artikel) ini secara mandiri, kita barangkali agak heran karena karya ini seakan dicipta melampaui zamannya. Waktra seperti ini lebih cocok hadir pada karya-karya Gerakan Realis Gustave Courbet padahal pada saat karya ini diciptakan, Manifesto Komunis belum dideklarasikan, Gerakan Realis belum terjadi dan revolusi yang meruntuhkan monarki Orleans belum meletus. Namun karya ini dipercaya sebagai studi untuk karya yang lebih monumental, “Pembantaian di Chios” (1824, ukuran 4 x 3.5 meter vertikal, koleksi Museum Louvre, Paris), silakan lihat foto di bawah ini.
Karya “Pembantaian di Chios” ini adalah sebuah lukisan sejarah, satu jenis pakem seni lukis Perancis yang di kemudian hari ditentang oleh prinsip-prinsip estetik Gerakan Realis karena dianggap tidak ada hubungannya dengan nasib kaum proletar pada saat itu, apalagi bisa memperjuangkannya. Karena ini adalah lukisan dengan tema tragedi, emosi duka yang ditampilkan dalam karya “Gadis…” menjadi relevan. Kemungkinan obyek yang digambarkan dalam karya tersebut muncul sebagai sosok gadis di bagian kiri atas di latar depan karya monumental ini. Dalam konteks ini, watak karya “Gadis…” yang mendahului zamannya ini menjadi lebih bisa dipahami.
Terlepas dari karya monumental Delacroix, karya ini menjadi unik karena semua kualitas realisme sosial sekaligus romantisisme ada di dalamnya. Subyeknya yang bukan siapa-siapa, hanya rakyat jelata yang diabaikan masyarakat pada saat ia hidup dan dilupakan oleh sejarah saat ia sudah meninggal, adalah subyek khas realisme sosial (dan lebih lanjut dalam Realisme Sosialis, yang memperjuangkan nasib kelas proletar) namun cekaman duka lara, isolasi, tekanan batin dan penggambaran latar belakang yang muram jelas menggambarkan semangat romantisisme. Semangat ini sangat berlawanan dengan pakem-pakem seni lukis Neoklasik yang lebih tenang, anggun, agung dan berwibawa, tidak dipengaruhi oleh emosi yang meledak-ledak.
Lebih jauh dari itu kita bisa melihat tata-cara melukis dalam disiplin Akademi Perancis, sebuah mazhab seni lukis tradisional Eropa yang paling muda dan paling rumit, diterapkan oleh Delacroix. Dalam hal ini, cara Delacroix melukis cukup menarik. Pada saat melukis tubuh dan kulit, ia melukis dengan amat halus, hampir sehalus Ingres. Namun pada saat ia melukis kain dari pakaian (orang miskin), sapuan kuasnya kasar. Perhatikan cara melukis impasto yang ia terapkan pada highlight (bagian terang) pada blus sang Gadis yang berwarna putih, barik cat minyak dengan sengaja diaksentuasi. Saya pikir kalau obyeknya adalah aristokrat, pemuka gereja atau pengusaha kaya, cara melukis kainnya tidak akan sekasar itu karena jenis pakaian yang mereka pakai tentu lebih bagus. Cara Ingres melukis kain satin, misalnya, luar biasa halusnya dan semua subyeknya adalah orang berada.
Karya ini berukuran kecil, hanya 66 x 54 cm vertikal, namun mutunya kelas satu. Layak jadi sebuah karya tersendiri karena keunikannya. Sebuah lukisan bisa menampilkan narasi dan/atau emosi, karya ini lebih kuat emosinya, barangkali karena ini karya studi. Narasi dan emosi muncul sama kuatnya pada karya Delacroix yang lebih serius lagi, “Pembantaian di Chios”, sebuah watak khas lukisan sejarah. Foto digital ini berukuran 2953 x 3596 pixel, 72 dpi, 2.4 mb. Silakan klik foto ini untuk menikmati foto dalam ukuran yang sebenarnya. 🙂