Artikel ini sudah jadi dalam bentuk draft untuk waktu lama, ditujukan untuk para pelukis yang bekerja dalam disiplin realisme, khususnya realisme figuratif. Saya pernah mengajukan konsep “fiksi” dan “non-fiksi” dalam realisme pada kurator dan sahabat saya, Agung Hujatnikajennong. Walaupun Agung memahami maksud saya, ia keberatan dengan terminologi yang saya gunakan. “Itu istilah sastra,” sanggahnya. Butuh waktu bagi saya untuk menemukan padanan terminologi untuk menjabarkan konsepnya, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menulis artikel ini.
Saya menganggap konsep ini penting karena saya bertemu dengan banyak perupa, terutama perupa muda, yang merasa bingung memutuskan ide terbaik untuk mencipta. Mereka mencoba ide satu dan lainnya, gaya ini dan gaya itu, tapi merasa belum sreg. Menghasilkan ide brilian untuk mencipta membutuhkan satu pondasi mutlak yakni: mengenali diri sendiri. Seperti apa kepribadian dan watak kita? Bagaimana cara kita berpikir dan mencerap realita? Kecenderungan apa yang kita miliki sehingga kita bisa menemukan perspektif yang tepat untuk masuk ke dalam sebuah gagasan tertentu? Saya harap artikel ini bisa membantu Anda. Selamat membaca. 🙂
Realisme Fiksi
Realisme figuratif, seperti juga sastra atau sinematografi, menurut saya bisa dibagi menjadi yang fiksi dan non-fiksi. Non-fiksi artinya diinspirasi oleh kisah nyata yang benar-benar terjadi sementara fiksi adalah sebaliknya. Dalam seni lukis klasik di Eropa, tema-tema besar yang mendominasi penciptaan para pelukis biasanya bertutur. Kisah adoration of the magi, misalnya, saat bayi Yesus dipuja oleh tiga raja, telah menghasilkan banyak karya yang dicipta oleh begitu banyak maestro dari masa ke masa. Orang bisa berdebat tentang karya siapa yang lebih bagus, lebih dramatis atau lebih menggugah perasaan, tapi tuturannya sendiri sih tidak dipertanyakan karena semua orang sudah tahu. Lukisan yang bertutur seperti ini bisa diibaratkan sebagai sebuah panggung teater beku dan dengan begitu, maka aspek-aspek teatrikal tertentu menjadi penting. Ini akan kita bahas pertama kali.
Seperti yang kita ketahui, bila seorang maestro hendak menggambarkan figur yang istimewa, melukisnya tidak bisa sembarangan. Melukis figur dewa-dewi atau orang-orang suci tidak bisa disamakan dengan melukis orang biasa, semua harus serba sempurna. Dengan begitu para maestro selalu melakukan idealisasi. Lihatlah, tidak ada dewa-dewi yang tidak tampan dan cantik dalam karya-karya klasik. Bila yang digambarkan adalah dewa, ia harus hadir dalam wujud fisik yang sempurna. Proporsi yang seimbang, tubuh yang berotot dengan six packs, bahkan jalur-jalur pembuluh darah di permukaan kulit berusaha dicapai oleh para maestro dengan rinci yang mengagumkan. Bila yang digambarkan adalah dewi, ia harus terlihat cantik dan feminin. Tubuh mereka tidak ceking seperti supermodel masa kini, mereka hadir dengan sosok yang lebih proporsional dengan permukaan kulit sangat lembut seperti porselen. Dengan begitu figur-figur penting selalu dihadirkan sebagai sosok yang ideal dan selain dewa-dewi, figur-figur utama dalam tradisi Katolik juga digambarkan dengan cara yang sama.
Lihatlah bagaimana Michelangelo Buonarroti menggambarkan Bunda Maria dalam “Pietà”, karya patung marmer yang ia kerjakan saat ia berusia 24 tahun. Bunda Maria terlihat begitu muda, cantik dan agung, padahal Bunda Maria kan seharusnya lebih tua daripada Yesus. Namun fakta itu diabaikan untuk alasan idealisasi. Idealisasi semacam ini adalah sebuah tendensi membekukan waktu, semacam upaya untuk maju satu langkah mendekati keabadian. Truth dalam hal ini menjadi nomor dua, yang utama adalah kesempurnaan itu sendiri. Dengan begitu, karya tersebut menjadi “fiksi”, karena idealisasi adalah fiksi. Ini adalah aspek pertama dalam teatrikalitas karya-karya seni. Aspek berikutnya adalah dramatisasi.
Dunia seni rupa amat dipengaruhi oleh sastra dan seni drama, bahkan sejak zaman Yunani-Romawi. Apa yang dipertunjukkan di panggung-panggung teater pada masa itu mengisahkan tragedi dan komedi dari banyak kisah, namun satu hal tetap berlaku: kisahnya harus dramatis sehingga mampu menyentuh emosi para penonton. Pada tataran tertentu dalam perkembangan seni rupa zaman antik di masa Yunani-Romawi, dramatisasi ini muncul dalam ekspresi karya-karya seninya. Lihatlah karya “Laocoon dan Anak-Anaknya” karya tiga pematung Yunani dari Rhodes. 1 Masehi. Karya yang dibuat dalam tradisi Grecco-Roman ini sudah bukan lagi berupa patung yang berdiri statis tanpa ekspresi, namun menggeliat dalam ekspresi rasa sakit kala Laocoon, sang Pendeta dari Troya dililit dan digigit ular besar yang berbisa karena Laocoon curiga dan menusuk-nusuk kuda Troya yang dimasukkan ke dalam benteng kota dengan tombak. Karena khawatir Laocoon membocorkan penyusupan para prajurit Yunani yang bersembunyi di dalam patung kuda raksasa tersebut, Poseidon—dewa laut yang memihak orang-orang Yunani—mengirimkan seekor ular besar yang berbisa untuk membinasakan Laocoon dan anak-anaknya.
Ekspresi rasa sakit pada wajah Laocoon berbeda dengan ekspresi rasa sakit di wajah Yesus yang mengalami penderitaan dan penghinaan saat penyaliban. Yesus Kristus sering digambarkan dengan wajah yang pasrah dalam penderitaannya, sebuah pesan yang menunjukkan bahwa Kristus bukan manusia biasa. Hal itu tidak berlaku bagi Laocoon. Ekspresi rasa sakit Laocoon adalah ekspresi rasa sakit yang sama dengan yang kita rasakan dalam kehidupan nyata, bahkan dilebih-lebihkan. Hiperbolisasi ini begitu hebatnya sampai Charles Darwin menyatakan bahwa alis Laocoon yang tertekuk ke atas, menonjol penuh ekspresi, sebenarnya tidak mungkin terjadi secara fisiologis. Tidak ada otot di daerah alis dan kening manusia yang memungkinkan hal itu terjadi. Namun lagi-lagi truth, kebenaran, dalam hal ini adalah nomor dua. Yang pertama adalah ekspresi yang dramatis. Ini mudah dipahami bila kita melihat karya ini sebagai sebuah pentas teater yang dibekukan. Maka seperti juga idealisasi, dramatisasi adalah fiksi. Idealisasi dan dramatisasi yang dikemas dalam sebuah tuturan adalah aspek utama dalam kepanggungan yang menjadi watak terpenting dalam karya-karya fiksi.
Realisme Non-Fiksi
Berbeda dengan kondisi pada zaman sekarang, pada masa sebelum pertengahan abad ke-19 di Eropa tema karya-karya seni tidak banyak. Pada zaman itu tema-tema karya seni selalu berupa:
1. kisah Alkitab
2. kisah mitologi Yunani
3. para raja dan kaum aristokrat
4. para pemuka gereja
5. orang-orang yang bukan termasuk kelompok tersebut tapi mampu bayar, biasanya para saudagar kaya.
Sudah, cuma itu saja. Tema-tema inilah yang lahir dalam penciptaan karya seni (kelas) tinggi yang kita baca di buku-buku sejarah. Kita tidak melihat semua jenis kaya seni pada zaman itu karena yang tercatat dalam sejarah hanya karya-karya seni terbaik saja, padahal dulu pelukis jalanan keliling yang karyanya murah-meriah dan melayani pesanan rakyat jelata juga ada. Maka seni kelas tinggi yang kita kenal lewat sejarah adalah seni yang sangat elit dan dikerjakan untuk melayani kaum elit saja, karena hanya merekalah yang mampu membayar mahal untuk membeli/memesan karya dari seniman-seniman top pada masanya.
Maka tidak mengherankan bila tema pada zaman dulu tidak berkembang. Ini adalah tema-tema yang ada di kepala kaum elit yang membeli/memesan karya-karya tersebut, mereka ingin merayakan eksistensi diri dan kekuasaan mereka sendiri. Bila seorang maestro melukis subyek yang masih hidup, raja dan kaum elit lainnya, ada perbedaan dalam hal idealisasi karena kali ini subyeknya benar-benar ada, hadir di hadapan mereka. Namun tentu saja secara alami, klien para maestro tersebut memiliki sebuah standar keindahan tertentu saat diri mereka diabadikan dalam lukisan. Sebuah karya seni macam itu sudah semestinya flattering. Bila subyek yang dilukis faktanya memang tidak tampan/cantik, sang Maestro harus mampu membuat lukisan yang masih mirip tapi merupakan versi tampan/cantik dari orang yang sebenarnya. Bukankah kadang-kadang kita melihat wajah seseorang yang mengingatkan kita pada wajah orang lain, teman kita misalnya? Wajah mereka mirip, tapi yang ini lebih tampan, atau lebih cantik. Kira-kira seperti itu pengertiannya.
Sebenarnya hal ini tidak aneh dan kita masih mengenalnya sampai sekarang, terutama dalam fotografi. Sekarang urusan mempercantik foto bahkan sudah bisa digantikan fungsinya oleh aplikasi di gawai cerdas kita, mudah dan instan. Namun prinsip-prinsip yang sama sebenarnya sudah ada sejak dulu dan para Maestro sangat paham perihal ini. Walaupun yang dilukis hanya wajahnya, postur tubuh sang Model secara keseluruhan akan menentukan hasil akhirnya. Sang Maestro akan mengarahkan sang Model untuk berdiri atau duduk dengan punggung tegak dan dada agak membusung, membuat bahu terlihat lebih bidang dan bagus, tidak turun dan loyo. Lalu ia akan mencari sisi wajah mana yang lebih menarik karena wajah manusia tidak simetris. Bila ia menemukannya, ia akan menempatkan sisi wajah itu di bagian yang lebih terang, dikenai cahaya. Sisi wajah yang kurang menarik akan dimundurkan ke belakang sehingga tidak terlalu terekspos. Sang Maestro lalu akan mengatur ke arah mana sang Model harus mengarahkan wajahnya. Matanya harus bagaimana, melihat ke arah mana, ekspresinya seperti apa? Bila kedua tangan ditaruh di pangkuan paha, sang Maestro akan mengatur letak jari-jemari sehingga terlihat jelas dan bagus, tidak mengalami distorsi. Belum lagi pakaiannya, latar belakangnya dan sebagainya. Ketika sketsa wajahnya sudah mulai dibuat, sang Maestro tahu bagaimana cara membuat wajah menjadi terlihat menarik. Mata dibuat sedikit lebih besar, kedua ujung bibir dibuat melekuk sedikit lebih dalam, tulang pipi dan rahang yang terlalu keras bisa diperhalus, lekukan pada hidung bisa disederhanakan supaya kelihatan lebih cantik, dan sebagainya. Pendeknya, ada seribu jalan untuk membuat subyek yang kurang tampan/cantik menjadi menarik saat dilukiskan di atas kanvas.
Walaupun kita bisa melihat bahwa ikhtiar-ikhtiar ini adalah upaya mendekati idealisasi, ini adalah jenis idealisasi yang berbeda dengan penggambaran dewa-dewi dan orang-orang suci. Sang Maestro tidak bisa mengarang dengan bebas karena rujukannya kan memang ada. Sejalan dengan cara tersebut, sebenarnya ada sebuah pendekatan yang sama sekali berbeda dalam melukiskan figur dan tradisinya sudah tua sekali. Pakem ini sudah dilakukan sejak periode akhir Romawi Republik, sekitar 140-30 SM di Italia, disebut verism.
Dalam budaya Romawi yang patriarkal, laki-laki dipandang lebih penting daripada perempuan. Selain itu, usia tua juga dipandang penting, maka laki-laki berusia tua yang memiliki kekayaan dan posisi sosial yang tinggi lazim dicuplik dalam karya seni termasuk patung dada seperti contoh di atas. Verism, sebagai kata sifat dan sebagai pakem seni rupa, justru mengejar rinci pada wajah yang menunjukkan semua ketidaksempurnaan seseorang. Semua keriput akan dikejar sampai tataran tertentu, termasuk gigi yang ompong, bibir yang sumbing, andeng-andeng besar, jerawat, bopeng pada wajah, semua itu akan dikejar. Ini sangat berbeda dengan cara penggambaran wajah dewa-dewi atau figur-figur penting dalam Alkitab yang serba halus mulus.
Kita tak pernah bisa tahu apakah semua ketidaksempurnaan itu merujuk pada subyek aslinya atau justru dilebih-lebihkan supaya karakter figur yang diimba terlihat lebih tua, thus lebih bijaksana. Para ahli masih memperdebatkan hal ini. Karena bila pembuatan karya tersebut dilebih-lebihkan, itu termasuk idealisasi, walaupun yang dikejar adalah ketidaksempurnaan, alih-alih kesempurnaan fisik. Ketidaksempurnaan fisik yang nampak dalam karya seni adalah watak realisme pasca-Courbet di pertengahan abad ke-19. Sebelum Manifesto Realis Gustave Courbet dideklarasikan, hanya Diego Velàzquez yang secara sadar mengambil figur-figur rakyat jelata, bahkan menggabungkannya dengan figur dewa, sebuah terobosan pada masanya.
Apakah karakter-karakter seperti ini menunjukkan tendensi “non-fiksi” dalam realisme? Menurut saya, ya. Verism adalah sebuah watak non-fiksi karena seni bisa dengan mudah jadi sarana untuk menyempurnakan yang tidak sempurna, namun bila sang Perupa secara sadar mengejar ketidaksempurnaan dalam disiplin realisme, itu adalah sebuah ikhtiar untuk mendekati truth. Maka pada titik ini, kita memiliki dua buah kontras yang saling berlawanan: watak kepanggungan (dengan idealisasi dan dramatisasi) dalam realisme fiksi, dan verism dalam realisme n0n-fiksi. Dua kontras ini masih tetap dipraktikkan dalam banyak ekpresi realisme sampai hari ini, karena itu keduanya penting.
Rumor sejarah menyatakan bahwa Paus Innocent X begitu takjub saat melihat karya potretnya selesai dikerjakan Velàzquez dalam lawatannya yang kedua di Italia (1649-1651). “Troppo vero!”, seru sang Paus, takjub melihat wajahnya dilukis dengan begitu nyata. Para sejarawan meragukan rumor sejarah tersebut, menurut mereka itu lebay. Walaupun demikian, kita tidak bisa menafikan kenyataan bahwa wajah sang Paus yang serius dan sangar itu memang kelihatan seperti nyata. Sebagai pembanding, lihatlah karya “Putri de Broglie” karya Dominique Ingres di atas. Wajahnya begitu halus, hampir seperti boneka. Karya Velàzquez saya jadikan contoh bukan karena sekedar cocok untuk mendukung teori saya, namun ia adalah seorang maestro yang sejak awal memang memiliki tendensi verism yang kuat dalam karya-karyanya.
Velàzquez sedikit berbeda dengan seniman-seniman sezamannya. Ia sering mengambil subyek rakyat jelata dalam karya-karyanya, padahal ia adalah pelukis dan kurator museum istana yang bekerja langsung di bawah Raja Phillip IV, seorang raja Katolik, musuh besar Elizabeth sang Perawan, ratu Protestan Inggris. Di mana-mana, pelukis top, apalagi pelukis istana, tidak akan pernah mengambil rakyat jelata sebagai subyek. Velàzquez adalah sebuah anomali dan ini bisa disebut sebuah terobosan luar biasa untuk zamannya karena ia tinggal di tengah masyarakat Spanyol di tahun 1600-an yang struktur sosialnya sangat kaku. Pemisahan kelas antara rakyat jelata dan kaum elit sangatlah jelas, tapi Velàzquez mengabaikan semua itu dan mengambil rakyat jelata sebagai subyek karya-karyanya.
Lebih jauh daripada itu, Velàzquez menggabungkan verism dalam penggambaran rakyat jelata dengan idealisasi dalam penggambaran figur dewa dalam karya di bawah ini. Ini luar biasa.
“Para Pemabuk” atau “Kemenangan Bacchus” menggambarkan Bacchus (nama Romawi untuk Dionysus, dewa panen raya anggur, pemrosesan anggur dan minuman anggur yang lazim digunakan untuk memicu trans dalam upacara keagamaan, dewa kesuburan dan kebahagiaan spiritual dalam budaya Yunani Kuno) sedang bergembira bersama manusia. Lihatlah wajah orang-orang yang ada di sekitar Bacchus, itu wajah-wajah rakyat jelata semua. Lengkap dengan segala cacat dan ketidaksempurnaannya. Bagaimana mungkin idealisasi à la Bernini bisa digabungkan dengan verism dalam satu kanvas? Hanya Velàzquez yang mampu melakukannya dan konon hal itu bisa terjadi karena Francisco Pachecho del Rio, guru sang Maestro, meneteskan visi realisme pada muridnya, jauh sebelum Manifesto Realis dideklarasikan. Untuk zamannya, prinsip estetik seperti ini bisa dibilang avant-garde.
***
Maka bila kita harus membagi realisme menjadi yang fiksi dan non-fiksi, lalu apa manfaatnya? Saya sering bertemu dengan para perupa yang berkarya dalam disiplin realisme figuratif yang kebingungan mau bikin karya seperti apa. Menurut saya pembagian besar ini bisa dijadikan pertimbangan.
Saya adalah pencinta dongeng sejak kecil. Apa saja yang bentuknya cerita, saya suka. Karena itulah saya suka sejarah karena lepas dari kebenarannya, sejarah adalah cerita, dongeng. Maka tidak mengherankan bila dalam kekaryaan, saya memiliki tendensi untuk bertutur. Karya-karya saya selalu naratif. Ada orangnya. Kadang-kadang orangnya lebih dari satu dan mereka saling berinteraksi. Jadi karya saya selalu terlihat seperti ada ceritanya, walaupun cerita itu tidak pernah jelas, kadang-kadang bahkan absurd atau konyol. Namun intinya, karya saya bercerita dan dengan begitu, saya cocok dengan watak dramatis dalam realisme fiksi. Saya selalu suka karya yang bertutur, misalnya seperti karya Bo Bartlett di bawah ini.
Karya realisme figuratif yang bertutur seperti ini itu saya banget. Moodnya kuat, ceritanya sih tidak macam-macam, cuma ada serombongan anak-anak Amerika sedang bermain trick or treat di hari Halloween. Namun penggambarannya dramatis sehingga lukisan ini memiliki karakter fiksi karena ia nampak “dipanggungkan”. Nah, kalau Anda bagaimana?
Apakah karya Anda bertutur? Apakah Anda senang dongeng seperti saya? Apakah Anda bingung kalau harus membuat komposisi seperti ini? Apa Anda merasa karya Anda tidak memiliki kecenderungan tuturan? Bila jawabannya “ya”, Anda tidak perlu khawatir. Cara bertutur dalam membuat komposisi bukan satu-satunya jalan untuk melukis figuratif. Kan masih ada realisme n0n-fiksi. Lihatlah betapa bagusnya karya Meredith Frampton di bawah ini.
Meredith Frampton adalah pelukis realis Inggris yang karyanya tidak terlalu banyak karena penglihatannya yang menurun sejak 1950, tapi karya-karya bagus sekali. Dan dalam karya ini, Frampton melakukan pendekatan veristis untuk menggambarkan subyeknya. Sekarang ada karya satu lagi yang leibh terkenal dan bagus sekali dari seniman yang sama.
Tidak sering kita melihat karya figuratif yang sublim dan elegan seperti ini, cantik sekali, bukan? Sebuah karya tidak perlu bertutur. Sebuah karya tidak perlu ada ceritanya. Bila Anda merasa bahwa narasi bukanlah kekuatan Anda, namun tetap ingin berkarya dalam gaya realisme figuratif, Anda bisa mengambil jalan realisme non-fiksi. Obyek diambil apa adanya, tidak ada cerita apa-apa, tapi dikerjakan dengan keahlian tingkat dewa. Bila Anda belum memiliki kemahiran melukis seperti ini, tenang saja, Frampton juga dulu belajar dulu, kan? Yang penting visi dan usaha untuk mencapai kekaryaan dengan mutu setinggi ini, atau setinggi apapun yang Anda inginkan. Michelangelo pernah mengatakan, “Masalahnya bukan soal kita punya target tinggi lalu tidak tercapai, tapi banyak orang menetapkan target yang rendah lalu tercapai.”
Realisme non-fiksi masih bisa memiliki daya pikat yang kuat. Bila harus dicontohkan di sini, terlalu banyak lah karya yang harus dibahas. Lihatlah lagi keindahan karya Frampton. Tidak ada yang aneh di sini, cuma orang duduk. Di karya-karya ini kelihatan jelas Frampton menerapkan pakem seni lukis pada masa Neoklasik: tidak ada emosi, tenang, agung dan berwibawa. Tidak ada panggung, tidak ada dramatisasi, tidak ada idealisasi (walaupun lukisan cewek itu kok cantik banget, ya? Apa betul model aslinya secantik itu?), yang ada adalah verism. Maka bila Anda bukan jenis perupa yang bertutur, verism mungkin baik untuk Anda jadikan rujukan bagi kekaryaan Anda. Carilah perupa mana saja yang menerapkan prinsip ini dan serap sebanyak mungkin keunggulan-keunggulannya. Selamat berkarya. 🙂
Suka sekali dengan bahasan ini, terimakasih mas RE Hartanto, semoga di perkenankan bertemu lagi 🙏🏻
Sehat dan bahagia selalu, Aamiin