Pemikir dan Non-Pemikir

Pada suatu saat, anak kami, Caka (usia 8 tahun), piknik bersama sepupu-sepupunya ke Taman Lalu Lintas di Bandung. Ini adalah sebuah acara kumpul keluarga besar saat libur Lebaran, jadi kebayang, lah, seperti apa suasananya. Taman Lalu Lintas di Bandung baru selesai direnovasi, jadi tempatnya lebih enak sekarang. Tiket masuknya masih tetap murah, tapi untuk menikmati wahana di dalamnya, orang harus bayar lagi, termasuk wahana memancing di kolam yang ternyata agak kotor. Ini bukan memancing ikan betulan, tapi memancing ikan plastik yang moncongnya diberi sepotong besi. Anak-anak segera berhamburan mengambil kail dan segera memancing ikan, Caka juga.

Namun selagi sepupu-sepupunya sedang asyik memancing, Caka rupanya lebih tertarik memerhatikan bagaimana permainan itu bekerja. Ia mengamati magnet yang dikaitkan di mata kailnya, ia juga menempel-nempelkan magnet itu ke ujung mulut ikan, ia juga akhirnya menemukan bahwa beberapa kail dan ikan rusak. Dan ia pun bicara dengan cerewet seperti biasa pada ibunya, “Lihat, Bu. Ikan yang itu di mulutnya nggak ada besinya, jadi dia nggak bisa dipancing.” Lebih lanjut ia berceloteh tentang bagaimana permainan itu bekerja, bagaimana magnet di mata kail akan menempel pada sepotong besi di mulut ikan, dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu ia juga berusaha menangkap ikan dan setelah permainan selesai, ia bertanya pada ibunya, “Ibu, kenapa ikan yang aku tangkap cuma sedikit?”

Saya tidak ikut di acara itu, saya hanya mendengar cerita dari istri saya saja. Saya tertawa mendengar cerita itu, Caka itu mewarisi sifat saya. Dalam permainan itu, sepupu-sepupunya yang lain tidak peduli bagaimana permainan itu bekerja. Kalau mereka sadar bahwa kailnya tidak berfungsi, mereka segera ambil kail yang lain dan meneruskan permainan. Mereka tidak berusaha menganalisa bagaimana permainan itu bekerja, mereka bermain dengan cara trial and error dan sebagai hasilnya: ikan yang mereka tangkap lebih banyak. Sedikit banyak, hal itu menjelaskan perbedaan yang ada di antara manusia seperti saya dan Anda: ada yang pemikir, ada yang non-pemikir. Ini bukan soal benar atau salah, ini soal karakter. Dan dengan mengetahui perbedaan antara karakter tersebut, dalam perspektif mengenali diri sendiri, akan sangat membantu dalam kekaryaan kita. Jadi, Anda termasuk seorang pemikir atau non-pemikir?

“Sang Pemikir”, Auguste Rodin

Non-pemikir tidak menghabiskan waktu untuk menganalisa. Bila mereka tertarik pada suatu subyek tertentu, mereka akan langsung menceburkan diri dengan bersemangat. Mereka mungkin melakukan kesalahan-kesalahan bodoh, tapi dengan cepat mereka akan memperbaikinya. Mereka tidak merasa perlu untuk benar-benar memahami suatu konsep sebelum memulai, buat mereka itu buang-buang waktu. Karena mereka selalu lebih cepat daripada non-pemikir, mudah diduga, hasil yang mereka dapatkan memang biasanya lebih banyak. Pengalaman yang mereka dapat juga lebih banyak. Mereka memahami suatu konsep dengan praktik, bukan dengan analisis. Ini sebuah keunggulan sekaligus kelemahan.

Di sisi lain, seorang pemikir akan merasa bodoh bila langsung menceburkan diri tanpa memahami konsepnya terlebih dahulu. Bahkan sebelum memulai aktivitas tersebut, seorang pemikir akan menganalisis dan dengan cepat bisa memperkirakan: masalah apa saja yang akan muncul di kemudian hari. Mereka akan berusaha mendapatkan solusi untuk masalah-masalah yang sekiranya akan muncul ketika mereka memulai aktivitas tersebut. Analisis seperti ini membuat mereka kehilangan waktu start, saat mereka merasa mantap untuk beraksi, kawan mereka yang non-pemikir sudah berlari setengah lintasan bahkan lebih.

Artikel ini adalah sebuah otokritik untuk diri saya sendiri (yang kebanyakan mikir), tapi saya juga tahu bahwa orang seperti saya ada banyak di luar sana. Sirom, murid dan asisten saya, adalah seorang pemikir juga. Cara kami bekerja sama-sama lambat, soalnya lebih banyak analisisnya daripada kerjanya. Oke lah, analisis memang bisa menghasilkan ide-ide brilian, tapi sesudah berdiskusi dengan Sirom, kami menyimpulkan bahwa karakter pemikir kami ini kurang bermanfaat untuk menghadapi deadline yang tidak ada habis-habisnya. Kami terlalu banyak mikir, kurang sigap bekerja. Apakah Anda juga punya karakter seperti kami?

Bila saya mendapatkan sebuah tawaran pameran misalnya enam bulan lagi, saya akan membayangkan-bayangkan ide yang bagus untuk pameran tersebut. O, mungkin bisa pakai ide ini, ide itu, karyanya nanti bisa dibeginikan, dibegitukan dan sebagainya. Jadi ide awal sih ada, tapi saya biasanya lalu mikir, “Coba nanti saya pikirkan lagi, mungkin ada ide yang lebih bagus.” Dan waktu pun berlalu. Seminggu, dua minggu. Wah, betul! Ada ide yang lebih canggih, karya itu harus dibeginikan nih, supaya lebih canggih. Dan ide saya pun berkembang, tapi karya itu belum saya eksekusi soalnya, “Coba nanti saya pikirkan lagi, mungkin ada ide yang lebih bagus.” 🙂

Anda bisa bayangkan bagaimana akhirnya, bukan? Waktu berlalu dan saya malah sibuk memikirkan ide yang lebih canggih, kerjanya sih belum. Akhirnya waktu bertambah sempit sampai akhirnya saya sudah tidak punya lagi waktu untuk berpikir, karya harus segera dieksekusi. Lalu bagaimana dengan ide saya? Ya, saya akhirnya tidak pernah menemukan “ide brilian abad ini”, saya akan eksekusi ide terakhir yang saya punya aja. Tambahan lagi, karena waktu saya habis untuk berpikir, waktu yang tersedia untuk eksekusi karya saya jadi sempit. Kadang-kadang sempit banget. Anda bisa bayangkan, kalaupun ide saya benar-benar brilian, waktu yang tersedia begitu sempit sehingga karya itu tidak akan pernah dieksekusi secara maksimal karena eksekusi karya itu membutuhkan waktu. Ini adalah penyakit perupa yang terlalu banyak berpikir, apakah Anda punya masalah serupa?

Dalam diskusi tentang “Kebuntuan Kreatif dan Gangguan Emosional” yang diadakan di bulan Juli lalu di Tobucil, seorang perupa menuliskan pengalamannya dalam lembar formulir, “Saya sering kebingungan antara dorongan ‘kerjakan saja dulu’ dan pemikiran ‘berkarya itu nggak boleh ngasal'”. Ini adalah kebingungan khas para pemikir karena mereka yang non-pemikir tidak akan memikirkan pertanyaan seperti ini, mereka akan langsung beraksi. Pemikiran bahwa ‘berkarya itu nggak boleh ngasal’ itu memang benar, tapi dalam kasus para pemikir, pemikiran itu malah membuat mereka sibuk memikirkan gagasan tentang karya yang paling sempurna padahal kenyataannya karya yang paling sempurna itu tidak pernah ada.

Salah satu yang sering menghinggapi benak para pemikir adalah bagaimana cara menekan kesalahan seminimal mungkin. Pikiran tersebut bukannya salah atau jelek, tapi kita ini perupa, bukan insinyur NASA yang sedang membuat roket. Kalaupun ada kesalahan, kecil kemungkinan kita akan menghilangkan nyawa orang. Dalam proses penciptaan karya seni rupa, kesalahan yang kita buat palingan hanya membuat kita mengeluarkan biaya lebih dan memakan waktu pengerjalan lebih lama, tidak sampai bikin orang mati. Kesalahan itu wajar dalam penciptaan. Menghasilkan karya jelek itu lazim, sesuai dengan Sturgeon’s Law yang menyatakan bahwa 90% dari semua hal itu sampah.

Anda tahu singa Afrika? Panthera leo? Singa itu mahluk yang mengerikan kekuatan dan keganasannya. Berat singa jantan dewasa bisa mencapai 250kg dan singa itu bukan mahluk yang hidup sendirian seperti harimau atau macan tutul. Singa hidup berkelompok dan mereka pun berburu secara berkelompok. Bila sekawanan singa berburu secara berkelompok di siang hari, tingkat keberhasilan perburuan mereka hanya sekitar 20%. Bayangkan. Ini singa, lho. Singa yang ganas dan memiliki kekuatan luar biasa itu, plus berburunya berkelompok pula, bisa sampai belasan ekor, tingkat keberhasilannya hanya segitu. Dari sepuluh kali berburu, hanya dua perburuan yang membuahkan hasil. Yang disebut ‘hasil’ di sini pun tidak selalu sepadan. Kalau mereka bisa merubuhkan seekor kerbau tua seberat 1000kg sih bagus, tapi dalam kasus kelangkaan makanan karena musim kering, bisa saja yang ditangkap hanya seekor anak babi hutan seberat 20kg, harus dibagi rame-rame. Dari sepuluh kali berburu, delapan perburuan gagal, tidak menghasilkan apa-apa, padahal energi yang harus mereka keluarkan tidak kecil. Penciptaan karya seni kurang lebih sama seperti itu.

Menghasilkan karya yang dahsyat dalam satu kali coba itu kejadian langka. Itu amat jarang terjadi, bila hal itu benar-benar terjadi, itu patut disyukuri. Seringkali karya yang kita ciptakan itu materialnya salah, pengerjaan tekniknya kurang tepat, tidak memuaskan di satu bagian tertentu, atau bisa saja secara keseluruhan memang jelek. Itu biasa dalam penciptaan. Dari sepuluh kali bikin karya, ada satu yang bagus itu sudah Alhamdulillah. Kita tidak bisa mengharapkan setiap kali kita mencipta akan menghasilkan karya kelas top. Kita tidak bisa hanya duduk sambil membayangkan karya kita dicipta dengan cara ini, dengan pendekatan itu, lalu berharap karya kita lahir dengan bagus. Tidak bisa begitu. Dalam realitanya, kita harus bekerja keras membanting tulang, bermandi keringat, kadang-kadang sambil menahan lapar, untuk menghasilkan karya yang ternyata hasilnya jelek. Namun hal itu tidak jadi masalah karena kita sudah langsung mengerjakan karya berikutnya, tetap dengan bekerja keras membanting tulang, bermandi keringat dsb, untuk menghasilkan karya yang ternyata hasilnya hanya satu garis di atas karya pertama yang jelek tadi. Dan seterusnya, dan seterusnya.

“Mesin produksi” karya kita harus berputar dalam rpm tinggi, seperti mobil yang sedang ngebut, untuk menghasilkan begitu banyak karya yang jelek, yang “kurang sedikit”, yang “sedikit lagi bisa bagus”, untuk akhirnya bisa menghasilkan karya yang lumayan, lumayan bagus, yang wah, bagus juga, sampai yang bagus banget. Ini adalah hal yang harus dipahami para pemikir, kita tidak bisa duduk dan bekerja lalu hasilnya langsung bagus. Kita harus bekerja keras bagai kuda untuk menghasilkan puluhan karya yang jelek atau yang biasa-biasa saja, sampai akhirnya muncul 1 atau dua karya yang hebat. Itulah realita dunia penciptaan. Pernahkan Anda mendengar kisah seperti ini? Ada dua kelompok seniman keramik ikut eksperimen. Kelompok pertama bekerja mengikuti target kuantitas tertentu. Setiap sore mereka harus mengumpulkan 20 buah karya, sementara kelompok yang satunya harus bekerja mengikuti target kualitas tertentu. Bila menurut mereka karya yang dihasilkan belum cukup baik, tidak usah mengumpulkan karya apa-apa. Mau seminggu bekerja tapi hasilnya jelek juga tidak apa-apa, kumpulkan hanya karya yang terbaik saja. Sesudah bekerja beberapa bulan dan diadakan penilaian, karya-karya terbaik berasal dari kelompok pertama. 🙂

Anda paham maksud saya, bukan? Kuantitas itu penting. Kualitas itu bukan target, tapi dampak dari kuantitas produksi yang tinggi. Karya terbaik hanya dilahirkan dari mesin produksi yang sudah bekerja full capacity dan full speed untuk mencapai tingkat produksi maksimum. Bila itu belum tercapai, Anda tidak bisa mengharapkan hasil yang baik. Ini penting sekali dipahami oleh para perupa pemikir, seperti saya dan Sirom, termasuk juga Anda barangkali. Saya dan Sirom akhirnya memutuskan, bila kami sudah punya jadwal pameran, kami akan menentukan tenggat gagasan. Artinya, kami akan memutuskan kapan gagasan untuk bikin karya harus segera dieksekusi dan waktu itu tidak banyak. Waktu untuk berpikir kami buat sempit, sementara waktu untuk eksekusi karya kami panjang. Idenya cupu? Biarin! Yang penting waktu eksekusinya panjang. Soalnya mau punya ide brilian sekalipun kalau waktu eksekusinya sempit, hasilnya pasti tidak maksimal. Mendingan punya karya dengan ide cupu tapi dieksekusi dengan maksimal daripada sebaliknya. Itu adalah hasil dari otokritik kami terhadap karakter kami sendiri yang pemikir.

Maka bila Anda adalah jenis perupa pemikir seperti saya dan Sirom, ayo bangkit dari duduk melamun Anda. Jangan terlalu banyak mikir, kita rugi waktu dan waktu itu tidak bisa dibeli pakai uang. Batasi ruang perenungan karya Anda dan perluas waktu eksekusi karya Anda. Jangan takut menghasilkan karya jelek, karya dengan ide cupu, karya yang kurang sempurna, dsb. Hasilkan puluhan dan ratusan karya jelek, tidak apa-apa, kelak pada saatnya akan ada karya brilian lahir dari tangan Anda. Karakter pemikir kita akan tetap berguna saat kita melakukan perenungan sesudah sebuah karya jelek lahir. Apa yang bisa diperbaiki? Pada aspek mana karya kita bisa ditingkatkan lagi mutunya? Pada eksekusi karya berikutnya, kita akan lakukan perbaikan. Sedikit-sedikit tidak apa-apa, yang penting penciptaan jalan terus. Maka, bangkitlah dari lamunanmu, wahai pemikir! Bangkitlah dan mari bekerja! 🙂

4 thoughts on “Pemikir dan Non-Pemikir

  1. Tulisan yang sangat mencerahkan, Mas. Terima kasih. Jadi inget ke profesi saya sendiri. Lain hal dengan Mas yang perupa, saya adalah seorang tenaga pemasar.

    Saya sangat setuju dengan yang ini: “Kualitas itu bukan target, tapi dampak dari kuantitas produksi yang tinggi.”

    Di dunia saya, semakin banyak penolakan, semakin banyak hinaan, maka semakin banyak juga produk yang terjual. :))

  2. mantap mas, membuka pikiran saya akan semua deadline 😂
    di dunia saya design interior sama halnya kaya perupa

  3. Wih tulisan yg inspiratif, lumayan menambah semangat dan gairah saya dalam berkarya. Selain karena terlalu sering memikirkan soal ide, hal yang menghambat saya adalah takut karyanya jelek secara teknis, padahal secara sadar saya yakin bahwa dengan terus berkarya akan berbanding lurus juga dengan skill teknik saya. Tambah tulisan tentang sejara seni rupa dong mas kalo boleh usul. Terima kasih

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s