
Gambaran Amerika yang hancur dalam “Fallout 4” (Bethesda Game Studios & Escalation Studios, 2015), video game dengan seting post-apocalypse
Hingga hari ini kebanyakan orang masih mengaitkan karya seni dengan keindahan, tapi pada praktiknya di dunia seni rupa, keindahan sudah lama ditinggalkan, bahkan dicurigai. Berabad-abad lalu, filsuf Jerman Immanuel Kant, menyatakan bahwa keindahan adalah bagian moral dari diri kita sebagai manusia karena manusia selalu mengejar visi yang lebih luhur. Visi manusia memang luhur, namun untuk mewujudkannya manusia rela mengorbankan kemanusiaan itu sendiri.
Sejarah seni rupa sebenarnya mirip dengan sejarah hidup kita yang personal. Bila kita sedang jatuh cinta, semua terasa indah. Bila kita mengalami prahara, dunia nampak muram dan kelam. Maka pasca Perang Dunia I dan II, pandangan para perupa tentang dunia pun melindap lalu gelap. “Menulis puisi setelah Auschwitz itu barbar,” tukas Theodore Adorno. Keindahan sejak dulu dikaitkan dengan segala yang ‘baik’, entah dengan ‘b’ kecil maupun ‘B’ kapital. Pandangan ini mengacu pada cara perupa melihat dirinya sendiri sebagai manusia, bukan hanya tentang dunia yang ditinggalinya. Dengan begitu, pandangan tersebut menjadi subyektif.
Sama seperti diri kita yang bisa mengalami dinamika, sejarah seni rupa pun memiliki masa-masa bangga pada dirinya sendiri, maka ia optimis. Dan ada masa-masa kelam saat kepercayaan dirinya jatuh, maka ia pesimis. Dua mazhab ini masih sama-sama eksis di dunia hingga hari ini. Sebagian dari kita sudah kehilangan kepercayaan pada kemanusiaan dan segala nilainya, itu terjadi semenjak kita memahami bahwa umat manusia bukan hanya mahluk yang cerdas dan mulia, namun juga licik dan kejam tiada terkira. Novel, cerpen, film dan video game dengan setting post-apocalypse menunjukkan pesimisme terhadap kemanusiaan dan mereka bukan hanya eksis, tapi juga laku dijual. Sama lakunya dengan ide-ide tentang penyelamatan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik.
Pencerapan dunia seni rupa terhadap keindahan berubah-ubah, dipengaruhi oleh begitu banyak faktor. Karya para perupa dipengaruhi dan memengaruhi pencerapan tentang keindahan tersebut. Apa yang semula hanya indah dalam tatapan mata, kini juga memiliki keindahan tersendiri saat dicerna dalam pikiran atau dirasakan oleh batin. Keindahan saat ini seringkali tidak secara langsung terlihat di permukaan, kita harus mengais-ais makna sebuah karya—sebuah proses yang seringkali tidak menyenangkan—untuk kemudian menemukan sekeping keindahan yang mungil lagi sumbing. Keindahan yang kita dapat tidak sepadan dengan usaha kita untuk menemukannya. Namun bukankah emas dibuat dengan cara yang sama, maka ia jadi berharga?
Maka apa makna keindahan dalam penciptaan karya-karya Anda hari ini? Apakah Anda menyelimuti karya Anda dengan keindahan seperti gula-gula, atau Anda sembunyikan keindahan di balik kehancuran yang Anda lukiskan di atas kanvas? Ataukah tidak ada keindahan sama sekali dalam karya Anda, karena keindahan sudah Anda sisihkan jadi penawar batin Anda yang penuh racun karena pengkhianatan bertubi-tubi?