Memahami Seni Abstrak

Saat mengetahui bahwa saya adalah seorang pelukis, orang yang baru saya kenal kadang-kadang bertanya, “Saya nggak ngerti lukisan abstrak. Artinya apa itu sebetulnya?”

Nah, daripada harus ngoceh panjang-lebar tentang sejarah seni abstrak, saya biasa menjelaskannya secara singkat menggunakan perumpamaan. Sebuah lukisan abstrak bisa diumpamakan sebagai sebuah tarian. Dance! Coba bayangkan, ada banyak sekali jenis tarian di dunia ini. Walaupun begitu, semua tarian–baik tarian tradisional, modern maupun kontemporer–pada hakikatnya adalah koreografi, tata gerak. Karakter tarian juga macam-macam: ada yang dinamis, ada yang lambat, ada yang sensual, ada yang kaku seperti robot, macam-macam. Ada tarian dengan struktur yang rumit, tapi ada juga yang simpel. Ada yang gerakannya tegas dan jelas, namun banyak juga yang spontan dan tidak bisa diduga polanya. Lukisan abstrak kurang lebih seperti itu, jenisnya banyak. Sekarang pertanyaannya: bila kita sedang menonton sebuah pentas tari, apa kita berusaha memahami apa maknanya?

“Eh, itu pinggulnya menggok kiri! Apa maksudnya, ya? Tuh, tangannya muter-muter lagi! Apa artinya itu? Astaga, aku tidak mengerti arti tarian ini sama sekali!”

Haha, tidak begitu, kan? Kalau sedang menonton pentas tarian, kita ya menikmati keseluruhan pertunjukannya, dong. Musiknya yang rancak, tata cahaya, kostum, dan koreografinya itu, lho! Lenggang-lenggoknya, dinamikanya, kelincahannya atau barangkali keanggunan dalam gerakannya yang lambat. Tata gerak, musik dan keseluruhan penampilan di pertunjukan itulah yang membuat kesan di hati kita. Kesan itulah yang penting, bukan apa maknanya.

Seperti halnya tarian, aspek ragawi yang fisikal pada lukisan abstrak seringkali fundamental. Berbeda dengan karya realisme, misalnya, penciptaan karya abstrak seringkali lebih membutuhkan gerakan motorik daripada nalar (walaupun ada juga yang kebalikannya). Ini berlaku terutama untuk karya-karya abstrak yang dibuat dengan spontan. Anggaplah: di malam hari sang Perupa menari di depan kanvas sambil memegang semua alat lukisnya. Saat fajar menjelang, tarian itu telah usai. Maka bila kita berhadapan dengan sebuah karya abstrak, kita sejatinya sedang memandang jejak tarian sang Perupa yang terekam, membeku di atas kanvas. Salah satu rahasia apresiasi sebuah karya abstrak adalah dengan membayangkan sang Perupa sedang beraksi saat menari sendirian di tengah malam dan itu butuh imajinasi.

“O, begitu… Tapi ada lukisan abstrak yang jelek banget, Mas! Kalau itu disebut tarian, itu pasti tarian kunyuk”, begitu barangkali pendapat sekalangan orang. Memang betul. Ada karya-karya abstrak yang jelek, tapi kalau bicara soal bagus-jelek, semua jenis lukisan juga bisa dinilai dengan cara yang sama. Bagus atau jelek itu soal selera.

“Oke, tapi masalahnya, walaupun jelek banget, tapi kok senimannya bisa terkenal dan harga karyanya mahal banget? Kenapa bisa begitu?”

Nah, kalau sudah sampai di titik ini, faktor-faktor yang menentukan jadi lebih banyak dan diskusinya bisa jadi lebih rumit. Yang kita bahas tadi adalah masalah penciptaan. Saya selalu membuat batas yang tegas antara ruang privat tempat sang Perupa mencipta dengan medan sosial seni, yakni saat sang Perupa dan karya-karyanya hadir di tengah publik. Di ruang penciptaan yang privat, sang Seniman memegang kontrol sepenuhnya, tapi di medan sosial seni: tidak.

Kesuksesan seorang pelukis abstrak–yang karyanya jelek banget itu–tidak semata-mata disebabkan oleh karyanya saja. Yang memengaruhi banyak. Ada kampus seni rupa, ada koleganya sesama seniman, ada art dealer, ada gallerist, ada kurator, kritikus seni, ada ahli sejarah seni rupa, ada museum, ada pameran ini-itu, ada balai lelang, ada media massa seni rupa, ada kolektor, ada investor dan ada publik luas, para penikmat seni rupa. Dengan begitu, ada banyak pemangku kepentingan yang memengaruhi keberhasilan karir seorang pelukis dan bila faktornya sudah sebanyak itu, seringkali soal bagus atau jeleknya karya itu di mata kita jadi urusan nomor sekian. Pendeknya, bila seorang pelukis–abstrak atau bukan–menjadi sukses, terkenal, karyanya mahal banget dan namanya dicatat oleh sejarah, itu bisa terjadi karena sebagian besar pemangku kepentingan tadi sepakat bahwa karya sang Pelukis itu penting.

Mengapa bisa penting? Secara umum, sebuah karya menjadi penting bila ia secara kuat mewakili zeitgeist, semangat zaman saat karya kekaryaannya diciptakan, maka ia kontekstual; ia juga unik, artinya: karyanya belum pernah dilakukan sebelumnya; dan karya itu berpengaruh, dijadikan rujukan oleh kritikus seni rupa, juga para filsuf dan perupa, sampai memengaruhi penciptaan banyak seniman lain setelahnya. Namun selain itu semua, ada banyak lagi faktor lainnya dan kadang-kadang faktornya mencakup kontroversi tertentu. Kalau sudah menyangkut soal itu sih, sampai sekarang pun masih banyak karya yang jadi bahan perdebatan. Kita bisa saja tidak setuju karya A menjadi penting, sementara karya B tidak.

“Hm, begitu, ya? Tapi kenapa lukisan abstrak itu cuma coret-coret doang? Itu sih anak saya juga bisa bikin. Saya bikin sambil merem juga bisa.”

Betul. Faktanya, memang banyak karya abstrak yang coret-coret doang. Salah satu yang terkenal–dan mahal sekali harganya–adalah karya Cy Twombly. Namun perlu diingat, karir Twombly terentang sepanjang 59 tahun. Itu jauh lebih lama daripada masa bakti seorang PNS. Selama itu, Twombly tidak pernah membuat karya yang lebih cantik supaya mudah dijual, ia tetap saja membuat karya dengan caranya sendiri karena cara itulah yang paling relevan dan paling bermakna untuknya.

Namun, oke, lah. Katakanlah Anda bisa bikin karya seperti Twombly yang coret-coret doang. Sekarang pertanyaannya: mampukah Anda hanya mengerjakan hal itu selama 59 tahun, tanpa mengerjakan hal lainnya, walaupun untuk waktu yang (sangat) lama tidak ada orang yang menghargai, apalagi mau mengoleksi, karya Anda, karena tak ada seorang pun yang mengerti cara ekspresi Anda, sebab karya Anda hanya coret-coret doang? Hehe, tidak gampang, bukan? Menciptakan sebuah karya yang sulit dipahami, apalagi dikoleksi, oleh orang lain, membutuhkan sebuah keyakinan dan nyali besar. Itu adalah sebuah act of faith.

Menjadi perupa bukan hanya soal mencipta, bukan cuma soal bikin karya bagus atau jelek, bukan cuma soal bikin karya coret-coret doang, tapi juga masalah integritas. Tidak bisa disangkal, tentu ada perupa-perupa tertentu yang menganggap seni abstrak itu gampang. “Jadi pelukis itu gampang. Bikin aja karya abstrak, kan cuma coret-coret doang.”

Bagian coret-coretnya sih iya, gampang. Namun bagian tetap konsisten sampai matinya itulah yang akan memisahkan mana pelukis abstrak sejati–yang terus mencari cara ekspresi yang relevan dan jalan kekaryaan yang bermakna bagi hidupnya–dengan seniman yang berpikir bisa ambil jalan pintas menuju kesuksesan dengan cara kekaryaan yang gampang karena cuma coret-coret doang. Lagipula, ingat, kesuksesan karir itu tidak sepenuhnya ada di dalam kontrol kita.

Apapun juga yang berharga karena memberi makna bagi hidup seorang seniman–walaupun hanya sebentuk lukisan abstrak yang jelek karena cuma coret-coret doang–pasti akan diuji oleh waktu, karena itu harus diperjuangkan. Maka bila seni abstrak adalah cara ekspresi yang paling bermakna bagi Anda, silakan naik ke pentas dan tunjukkanlah tarianmu pada dunia. Dan untuk Anda yang kurang familiar dengan seni abstrak, tapi ingin bisa mengapresiasinya, mari duduk bersama saya. Tidak perlu dicari apa maknanya, nikmati saja. “Painting is the silent of thought and the music of sight”, Orhan Pamuk pernah mengatakan.

2 thoughts on “Memahami Seni Abstrak

  1. Pak, mau tanya. Bagaimana posisi dan masa depan seni lukis abstrak di Indonesia, di tengah arus karya-karya representasional (sosial-politik) yang padat narasi? Sedangkan langgam abstrak dianggap sudah sampai pada kebuntuan karena hanya berkutat pada aspek formal saja. Terima kasih sebelumnya.

    • Pertanyaan kritis yang bagus sekali, Mas Tejo. Beberapa teman dekat saya berkarya abstrak dan saya bisa melihat, penerimaan kritis dan komersial terhadap karya-karya mereka bagus, baik di dalam maupun di luar negeri. Tentu beberapa perupa ini tidak bisa dianggap mewakili seni abstrak Indonesia secara keseluruhan, tapi faktanya, untuk pertama kali karya abstrak dari Indonesia, karya Arin Dwihartanto, dipamerkan di dan dikoleksi oleh Guggenheim Museum, NY. Sementara itu Ay Tjoe Christine melakukan pameran tunggal di White Cube, London. Di dalam negeri sendiri, saya melihat bahwa karya abstrak juga mendapat minat di pasar, termasuk oleh para kolektor muda. Itu semua terjadi dalam lima tahun terakhir ini.

      Dilihat dari sejarahnya, seni lukis abstrak bukan barang baru di sini. Seni abstrak mengalami konfrontasi frontal dengan Lekra sejak awal 1960-an. Era 1990-an menjadi masa keemasan abstrak Bandung dan hingga saat ini praktiknya masih dilakukan hari ini, baik di kampus, di Kampung Budaya Jelekong dan di studio para perupa di Ubud. Kalau seni representasional memang mendominasi, saya percaya seni abstrak tidak jauh di belakangnya.

      Saya percaya, akan selalu ada tempat untuk segala jenis ekspresi, termasuk seni abstrak. Dalam pranata seni rupa–mulai dari kampus, galeri, museum, ruang alternatif sampai balai lelang–seni abstrak selalu mendapat tempat. Walau demikian, beban akan ada di pundak para perupanya. Beban sejarah seni non-representasional bisa dikatakan sama beratnya dengan yang lain. Abstrak atau bukan, perupa harus mampu melahirkan keunikan yang menyegarkan dalam kekaryaannya. Kita paham bahwa keunikan tidak selalu berarti “sama sekali baru”, keunikan bisa bermakna: kritis melihat sejarah praktik dan menemukan celah yang belum pernah dilakukan orang lain. Maka sama seperti semua perjuangan meraih eksistensi, seorang seniman abstrak harus kerja keras dan, di bawah semua itu, memiliki iman pada praktik kekaryaannya. Kalau karyanya bagus, pasti ada tempat, Mas.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s